06 November 2013

Foto-Foto : Kemenag Kota Kendari adakan Kirab Muharram menyemarakan Tahun Baru Islam 1435 Hijriah


Kegiatan Kirab Muharram yang diadakan oleh Kemenag Kota Kendari bekerja sama dengan MAN 1 Kendari dalam menyambut tahun Baru Islam (1 Muharram 1435 H) berlangsung meriah  dan semarak serta penuh warna (karena barisan peserta Kirab memakai pakaian adat yang sangat calorfull serta pakaian muslim dengan warna warna yang berbeda). Peserta kirab Muharram yaitu siswa Madrasah Negeri dan Swata, KUA Kec. Se-Kota Kendari, Pegawai, Guru dan Staf di lingkungan Kemenag Kota Kendari. Dimeriahkan juga oleh Marching BAnd MAN 1 Kendari. Tempat start : MAN 1 Kendari, panggung kehormatan : Depan Kantor Kemenag Kota Kendari, Finish : MAN 1 Kendari (Selasa, 5/11)






























Foto-Foto seputar Pelaksanaan Ujian CPNS K2 Tahun 2013 Kemenag Kota Kendari


Proses Pembukaan Soal-soal CPNS K2, dihadiri Kakanwil Kemenag Sultra, Perwakilan Biro Kepegawaian Kemenag RI, Perwakilan Itjen Kemenag RI, Perwakilan BPKP, Perwakilan Polres Kendari serta Panitia Ujian CPNS K2 Kemenag Kota Kendari, Minggu 3 November 2013
Tempat Ujian : Komplek Pesri Kendari














Suasana Pelaksanaan Tes CPNS K2 Kemenag Kota Kendari, Minggu (3/11)





Berita Acara Pemusnahan berkas soal Ujian CPNS K2









Pemusnahan  berkas soal Ujian CPNS K2 di halaman KAnwil Kemenag Prov. Sultra


Membangun Karier, Menggapai Impian

Karier mandek bisa bikin stres/ilustrasi
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
(Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia)

Lihatlah para elite dan pejabat yang ditangkap karena terbukti melakukan korupsi. Alangkah miris nasib mereka. Puncak karier yang berhasil diraih ternyata hanya mengantarkan mereka meringkuk di balik penjara. Keringat yang mereka kucurkan untuk membangun prestasi mentereng itu seketika menguap. Kebanggaan lenyap entah kemana. Belum lagi cibiran berujung cercaan yang ditanggung diri dan keluarga mereka.

Karier adalah perkembangan atau kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, dan jabatan. Karier sangat terkait erat dengan sebuah impian atau cita-cita. Ada orang yang berkarier dalam dunia kesehatan karena mempunyai impian menjadi dokter hebat. Yang lain berkarier dalam bidang perdagangan karena mempunyai impian menjadi entrepreneur tajir. Lalu ada orang yang berkarier dalam bidang militer karena mempunyai impian menjadi jenderal berbintang. Juga yang berkarier dalam bidang politik karena mempunyai impian menjadi menteri atau presiden.

Semua absah belaka, tidak dilarang. Setiap orang berhak meniti karier sesuai impian. Islam sekadar mengingatkan supaya segala impian yang sudah diraih itu tidak membuat kita lupa Allah. Capaian sebuah impian sungguh karunia luar biasa dari Allah. Tugas kita selanjutnya tinggal menggunakan dan mensyukuri karunia itu sesuai yang dikehendaki Allah. Hanya kerugian yang akan ditanggung siapa saja yang kufur karunia berupa tercapainya impian itu. Sudah banyak contohnya. 

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” [QS Al-Munafiqun: 9].

Kita dapat belajar pada sejumlah pribadi hebat yang meniti karier dan sukses meraih impian. Lihat saja Nabi Ibrahim (1997-1822 SM). Beliau berkarier sebagai peternak hewan, dan sukses. Bersama partner bisnis sekaligus keponakannya sendiri, Nabi Luth (1950-1870 SM), jumlah hewan ternak Nabi Ibrahim berkembang biak sampai tidak dapat ditampung dalam kandang yang tersedia. Nabi dan Rasul keenam itu hidup sebagai orang kaya raya karena usahanya maju pesat.

“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami berikan dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishak, seorang Nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishak.” [QS As-Shafat: 108-113].

Kesuksesan meniti karier juga terjadi pada Nabi Yusuf (1745-1635 SM). Nabi Yusuf merupakan putra Nabi Ya’kub (1837-1690 SM), yang hanya seorang miskin lagi buta. Sejak kecil, Nabi Yusuf hidup dalam keluarga sederhana. Bahkan pernah dibuang ke sumur gelap akibat korban kedengkian saudara-saudara kandungnya. Nabi Yusuf lantas ditemukan kafilah musafir dan kemudian dijual kepada Kepala Kepolisian Mesir bernama Futhifar (Qifthir).

Hidup di lingkungan istana tidak lantas membuat hidup Nabi Yusuf tenang. Berbagai fitnah dan tuduhan telah melemparkannya ke penjara. Di penjara, Nabi Yusuf mengisi seluruh waktunya untuk beribadah, berdoa, dan berdakwah. Turunlah wahyu yang mengangkat dirinya sebagai Nabi dan Rasul. Lama mendekam di penjara, segala fitnah dan tuduhan terkuak sudah. Raja Mesir kini luluh hatinya. Karena kecerdasan, kesabaran, keuletan, kejujuran, keramahan, dan ketulusannya, Nabi Yusuf diangkat sebagai Wakil Raja Mesir. Tugasnya, mengurus bidang kemakmuran ekonomi dan keuangan. 

“Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir. (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja dia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa saja yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [QS Yusuf: 56].

Kita juga menyimak kisah Nabi Daud (1041-971 SM), yang meniti karier dalam bidang militer. Mulanya, ketika Raja Bani Israil yang bernama Thalut menyusun strategi perang untuk menghadapi serangan Raja Jalut dari Palestina, Daud bersama kedua kakaknya diperintahkan ayahnya, Yisya, untuk bergabung dalam barisan laskar Raja Thalut. Karena usianya paling muda, maka ayahnya berpesan agar Daud berada di barisan belakang. Sekali-kali tidak boleh turut berperang.

Tetapi, ketika pasukan Raja Thalut dan Raja Jalut bertemu, Daud lupa pesan sang ayah. Ketika itu, suara Raja Jalut membahana, menantang siapa saja untuk berduel dengannya. Tidak terdengar jawaban. Semua jagoan perang dari Bani Israil diam seribu bahasa. Spontan Daud tampil ke depan. Duel hebat tidak terelakkan. Daud keluar sebagai pemenang, sementara Raja Jalut yang terkenal perkasa justru mati terkapar di tanah. 

Keberanian Daud itu segera menjadi buah bibir. Raja Thalut terkesan. Dipungutlah Daud sebagai suami dari putrinya yang paling cantik. Mikyal, namanya. Seiring waktu berjalan, ujian datang juga. Raja Thalut dilanda dengki karena pengaruh dirinya merosot, sementara kewibawaan Daud meroket di mata rakyat Bani Israil. Dirancanglah siasat jahat untuk mengenyahkan Daud. Kembali Daud menunjukkan kehebatan. Dia mampu mengalahkan Raja Thalut tanpa pertempuran. 

Daud hanya menggunting baju Raja Thalut saat dia sedang tidur. Ketika Raja Thalut bangun dari tidurnya, Daud berkata, “Lihatlah bagian bajumu yang aku gunting sewaktu engkau tidur pulas. Jika aku mau, tentu dengan mudah aku membunuh dan menceraikan kepalamu dari tubuhmu. Namun aku masih ingin memberikan kesempatan kepadamu untuk bertobat dan membersihkan hati dari segala sifat dengki, hasut, dan buruk sangka yang engkau jadikan sebagai dalih untuk membunuh orang sesuka hatimu.”

Raja Thalut malu dan menyesal. Berhari-hari dia merenungi ucapan itu. Pergilah dia meninggalkan kerajaan. Kerajaan kini kosong pemimpin. Saat itulah rakyat Bani Israil beramai-ramai menobatkan Daud sebagai Raja. Di tangan Raja Dawud, rakyat Bani Israil maju pesat, aman, makmur, dan sejahtera. Kehidupan mereka berlimpah berkah karena selalu bertakwa kepada Allah.

“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.” [QS Al-Baqarah: 251].

Aduhai indahnya kehidupan manusia-manusia mulia yang meniti karier hingga puncak, namun tetap bersyukur dan beribadah. Mampu menjinakkan harta dan takhta. Itulah yang juga diperankan utusan Allah paripurna bernama Muhammad bin Abdullah (571-632 M). Beliau adalah Nabi dan Rasul panutan, pemimpin lintas zaman. Di penghujung kisah dakwah, Rasulullah berhasil berkuasa penuh atas dua kota penuh kebanggaan, Mekah dan Madinah.

Karier beliau bermula sebagai pedagang biasa. Ketika menginjak usia remaja, Rasulullah bekerja sebagai karyawan seorang janda kaya, Khadijah binti Khuwailid. Kejururan dan kesetiaan beliau telah menawan hati sang majikan. Janda berharta mantan istri Abu Halah itu akhirnya melamar Rasulullah untuk dijadikan suaminya. Selama 25 tahun mengarungi hidup bersama Khadijah, rumah tangga Rasulullah diliputi bahagia dan berkah. Khadijah merupakan orang pertama yang mengimani kerasulan beliau. Rasulullah sangat mencintai dan menghormati Khadijah. Dialah penyokong dana utama dalam perjuangan dakwah Rasulullah di bumi Mekah.

Hendaklah kita mampu memetik hikmah di balik kisah. Selamat meniti karier dan meraih impian. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang dapat menggenggam sekaligus menguasai dunia. Bukan malah dikendalikan, apalagi diperbudak dunia. Kepada Allah jua kita mohon kekuatan dan perlindungan.

Email: hus_surya06@yahoo.co.id

Empati Pemimpin

Umar bin Khattab

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini

(Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’) 

Menurut riwayat Baihaqi dan Ibnu Asakir, Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Di antara keturunanku, ada seseorang yang terdapat bekas luka di wajahnya. Dia adalah orang yang akan menegakkan keadilan di muka bumi.” Siapakah yang diramalkan Umar itu? 

Dialah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abi Ash. Lahir di keluarga ulama dan bangsawan, dia mewarisi jiwa kepemimpinan kakek buyutnya, Umar bin Khattab. Ibunya bernama Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai gubernur Mekah dan Madinah pada masa Walid bin Abdul Malik, khalifah keenam Bani Umaiyah. Setelah mangkatnya Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah ketujuh Bani Umaiyah sekaligus sepupu dari jalur ayahnya, Umar bin Abdul Aziz kemudian diangkat sebagai khalifah kedelapan Bani Umaiyah.

Kelak, sejarah mencatat nama Umar bin Abdul Aziz dengan tinta emas. Sejak menjabat khalifah, dia langsung meninggalkan semua hartanya. Kesederhanaan adalah pilihan hidupnya. Ketika sedang berbincang dengan istrinya di ranjang kamar, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz teringat akhirat. Mukanya berubah pucat, seperti seekor burung yang berada di atas air. Dia lalu duduk, kemudian menangis. Melihat itu, istrinya yang bernama Fatimah bin Abdul Malik berkata, “Seandainya saja jarak antara kami dan tugas kekhalifahan dijauhkan seperti jauhnya jarak antara barat dan timur.”

Umar bin Abdul Aziz tidak merasa enak-enakan memegang tampuk kuasa. Dia mengumpulkan sejumlah ulama fikih di Madinah, seperti Urwah bin Zubair bin Awwam, Ubaidillah bin Atabah, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar, Qasim bin Muhammad Salim bin Abdullah, Abdullah bin Ibnu Amir, Kharijah bin Zaid, Abu Bakar bin Sulaiman, dan Abdullah bin Abdullah Ibnu Umar bin Khattab. Mereka semua diminta menulis setiap kezaliman yang mereka lihat. Padahal keadaan rakyat di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz sangat sejahtera. Kas negara melimpah. Tanah-tanah ditanami. Sumur-sumur air meruah. Jalan-jalan licin. Masjid-masjid banyak dan ramai. Hebatnya, tidak ada orang miskin yang mau menerima sedekah. Gaji pegawai juga mencapai 300 dinar. 

Tidak ditemukan kezaliman menimpa rakyat, karena keadilan sangat dijunjung tinggi. Bahkan, salah seorang pejabat negara bernama Jarah Al-Hukmi pernah dicopot gara-gara mengambil upeti dari orang-orang yang sudah masuk Islam. Padahal, Jarah Al-Hukmi melakukan itu karena paham bahwa orang-orang tersebut masuk Islam semata agar selamat dari kewajiban membayar upeti. Tetapi, ketegasan sang khalifah ternyata tidak tebang pilih. Tidak heran, para ulama sepakat bahwa Umar bin Abdul Aziz merupakan salah seorang Al-Khulafa Ar-Rasyidun. Seperti dikatakan Imam Syafi’i, “Al-Khulafa Ar-Rasyidun itu ada lima. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz.”    

Sejarah Islam dipenuhi kisah-kisah heroik dan berpengaruh besar terhadap peradaban. Sekian lama manusia hidup di masa-masa kelam, kehadiran Islam jelas merupakan babak baru sejarah yang memancarkan cahaya benderang. Di balik sejarah gemilang tentu ada sosok-sosok cemerlang di belakangnya. Karena, sejarah terhormat pasti lahir dari aktor-aktor terhormat. Sebaliknya, sejarah menjadi kelam karena dikendalikan aktor-aktor pecundang. Hari ini, umat Islam di seluruh dunia dan Indonesia khususnya, sedang berada di roda bagian bawah sejarah. Kita menanti lahirnya pemimpin-pemimpin besar yang mampu melambungkan umat Islam ke mercusuar peradaban.

Kita merindukan sosok pemimpin yang memiliki kecerdasan brilian dan empati besar semacam empat khalifah pengganti Rasulullah, Said bin Amir Al-Jumahi, Al-Ala Al-Hadhrami, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abu Ja’far Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Rasyid, Abdullah Abu Abbas Al-Makmun, dan pemimpin lain sekaliber mereka. 

Nabi dan Rasul itu berpikiran brilian, empati mereka besar. Misalnya, dengan kebijakannya yang cerdas, Nabi Yusuf mampu menyelamatkan rakyat Mesir dari bencana kelaparan. Persediaan makanan di gudang negara sangat cukup untuk menghidupi rakyat selama tujuh tahun Mesir dilanda kekeringan. Bahkan, stok kebutuhan pokok itu juga digunakan untuk menyuplai tetangga-tetangga Mesir yang sedang mengalami krisis pangan. Rombongan peminta bantuan berdatangan, termasuk rombongan saudara-saudara Nabi Yusuf dari Palestina yang dulu sangat memusuhinya.

Juga Nabi Musa yang siap pasang badan demi menyelamatkan rakyatnya dari kekejaman Firaun Minephtah. Hati Nabi Musa teriris-iris menyaksikan rakyat Bani Israil di Mesir menjadi bulan-bulanan raja super zalim itu. Sementara, tidak seorang pun berani menentang titah Firaun, termasuk kebijakannya untuk membunuh setiap jabang bayi laki-laki. Rumah-rumah penduduk dimasuki petugas Firaun untuk memeriksa setiap ibu yang baru melahirkan bayi. Kesewenang-wenangan itulah yang menggugah Nabi Musa. Sedari bayi hidup sebagai anak pungut Firaun ternyata tidak menghentikan tekad Nabi Musa untuk menumpas beragam kekejaman Firaun. Semuanya untuk rakyat Bani Israil.  

Pemimpin besar terbukti mampu memposisikan perasaan dan keadaan dirinya seperti perasaan atau keadaan rakyat yang dipimpinnya. Itulah pemimpin yang memiliki empati. Tentu empati tidak hanya didasarkan atas kekayaan, jabatan, keturunan, kepintaran, dan prestasi seseorang. Bagi pemimpin besar, simbol-simbol bersifat keduniaan itu sudah melebur dalam dirinya, berganti rasa kepedulian dan kasih sayang. Kepada siapa pun, termasuk kalangan jelata sekali pun, pemimpin besar tidak akan berlaku pilih kasih. Tidak kenal istilah pandang bulu. Pemimpin besar sangat mencintai sekaligus dicintai rakyatnya.

Ada kisah mengharukan yang terjadi pada awal-awal Islam datang di Mekah. Selain Khadijah binti Khuwailid, Waraqah bin Naufal, Ali bin Abu Thalib, Abu Bakar As-Shiddiq, beberapa orang miskin, seperti Zaid bin Haritsah, Said bin Abu Waqqas, Ibnu Mas’ud, dan Bilal bin Rabah juga menyatakan keimanan kepada Rasulullah. Tetapi ketika mereka berkumpul bersama Rasulullah, para pembesar dari kalangan kafir Mekah datang dan berkata, “Usirlah mereka dari kami!” Tampaknya mereka merasa tidak level duduk satu majelis dengan orang-orang rendahan itu. Apa jawab Rasulullah? Beliau membacakan firman Allah yang seketika itu turun sebagai jawaban atas penghinaan kafir Mekah kepada orang-orang yang sebenarnya sangat mulia di sisi Allah itu.

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).” [QS Al-An’am/6: 52].

Pemimpin sekarang harus menakar kebesarannya. Memimpin tidak cukup hanya bermodal uang, popularitas, citra, apalagi tampang. Selain kecerdasan, empati yang besar mutlak diperlukan dalam tugas kepemimpinan. Dengan demikian, tidak akan ada rakyat yang menjadikan pemimpin sebagai sasaran kebencian dan hinaan. Pejabat di bawahnya juga akan bekerja secara benar, jujur, dan ikhlas. Seluruh rakyat merasa senang dan bangga karena memiliki pemimpin yang sangat peduli dengan kehidupan dan kesejahteraan mereka. 

Email: hus_surya06@yahoo.co.id

Penerbitan Buku dan Perpustakaan di Era Kekhalifahan Islam

Kota Baghdad pada masa Abbasiyah berbentuk bundar.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan

Proses penulisan buku di era kekhalifahan boleh dibilang sangat unik. Pada era itu, sarjana dan ulama menjadikan masjid sebagai tempat untuk menyusun buku. Sebelum sebuah buku diterbitkan, seorang penulis atau ilmuwan harus mempresentasikan isi bukunya kepada publik. 

‘’Mereka melakukannya di masjid dengan cara dibaca atau didiktekan,” papar Ziauddin Sardar. Paparan penulis atau ilmuwan itu lalu didengarkan masyarakat umum dan dikopi oleh seorang warraqin,  yang bekerja sebagai penulis yang menyalin berbagai manuskrip yang dipesan para pelanggannya.
    
Seiring semakin tingginya angka produksi buku, umat Islam pada masa itu mulai mendirikan perpustakaan. Lagi-lagi, masjid menjadi tempat untuk menampung buku. Menurut J Pedersen dalam Arabic Book, pada masa itu masyarakat Muslim menyerahkan koleksi bukunya ke masjid untuk disimpan di dar al-kutub (perpustakaan).

Masyarakat di hampir seluruh dunia Islam – mulai dari Atlantik hingga ke Teluk Persia – masjid dijadikan tempat yang aman untuk menyimpan buku. “Buku-buku itu dihadiahkan dan banyak ilmuwan yang mewariskan perpustkaan pribadinya kepada masjid untuk menjamin buku mereka tetap terpelihara,” ungkap R Mackensen dalam "Background of the History of Muslim Libraries".

Tak heran, jika koleksi buku yang dimiliki perpustakaan masjid begitu melimpah. Di Allepo, Suriah, misalnya, perpustakaan masjid tertua bernama Sufiya mengoleksi buku hampir 10 ribu volume. Buku-buku itu merupakan pemberian dari penguasa kota Aleppo yang termasyhur, Pangeran Sayf al-Dawla. Gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid yang dipelopori pemimpin itu juga diikuti oleh para ilmuwan dan intelektual.

O Pinto dalam bukunya bertajuk The Libraries of the Arabs during the time of the Abbasids,' in Islamic Culture. Menurutnya, hampir di setiap masjid dan lembaga pendidikan yang tersebar di dunia Islam, pada masa itu, dipastikan memiliki perpustakaan dengan jumlah buku yang melimpah.

Menurut Pinto, di Baghdad terdapat hampir 36 perpusatakaan umum – sebelum kota metropolis intelektual itu diluluh-lantakan pasukan tentara Mongol. Di pusat pemerintahan Abbasiyah itu juga terdapat ratusan pedagang buku dan penerbitan. 

Dalam buku berjudul The Rabic Book karya Yaqut Mu'jam yang diterjemahkan G French disebutkan, di kota Merw – wilayah Persia Timur – pada tahun 1216 hingga 12 18 M terdapat 10 perpustakaan umum. Dua perpustakaan berada di masjid dan sisanya di madrasah.

“Bahkan di Spanyol Muslim terdapat 70 perpustakaan umum,” ungkap G Le Bon dalam bukunya berjudul La Civilisation des Arabes. Sejak abad ke-9 M, perpustakaan telah tersebar luas di kota-kota Islam. Di zaman itu, perpustakaan yang megah dan besar juga telah hadir di Kairo, Aleppo dan kota-kota besar lainnya di Iran, Asia Tengah dan Mesopotamia.

Tahun Baru Hijriah 1435 H

Hilal (ilustrasi)

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
Tidak terasa beberapa hari lagi kita umat islam akan memasuki tahun baru Hijriah  1435 H. Rasanya  peringatan tahun baru hijriah ini kurang diingat, khususnya bagi umat muslim. Sesungguhnya momentum pergantian tahun ini sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk  bekal menghadap sang Ilahi.  
Selain itu peringatan tahun baru ini memberikan  keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya, “Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”

Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada  Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.

Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.

Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan  melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan generasi  muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa“Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”.

Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini.
Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya.

Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 1435 H kita rubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat).

Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkaratmenunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia.
Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas. Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.

Dengan pemahaman itu, maka sepatutnya pergantian tahun baru Hijriah 1435  ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukit prestasi secara individu serta kelompok. 
Redaktur : Heri Ruslan