Jakarta(Pinmas)—Merujuk pada Undang-Undang No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, sebenarnya tidak ada kewajiban bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa Laporan Keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji (LK PIH), sebelum disampaikan kepada Presiden. Pasal 25 ayat 1
UU 13/2008 hanya menyatakan bahwa laporan keuangan PIH disampaikan pada Presiden dan DPR paling lambat tiga bulan setelah penyelenggaraan ibadah haji.Tapi karena komitmen dan niat baik dari Kementerian Agama, BPK siap menyelesaikan audit terhadap LK PIH.
Penegasan ini disampaikan oleh Anggota BPK, Sapto Amal Damandari dalam acara penyampaian Laporan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1433H/2012 M, di Aula HM.Rasjidi, Gedung Kementerian Agama, Jl. MH. Thamrin, Jakarta, Kamis
(14/03).
Sejalan dengan komitmen Kementerian Agama untuk terus melakukan perbaikan, Sapto memberikan catatan awal terkait LK PIH terakhir (2011) di mana opini yang diperoleh adalah Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Menurut Sapto,pengecualian dalam opini tersebut karena beberapa catatan berikut:
Pertama, aset tetap belum seluruhnya diinventarisasi dan belum dinilai kembali sesuai kebijakan akuntansi, termasuk tanah Rumah Sakit Haji Pondok Gede Jaktim yang belum jelas statusnya. Kedua, penyelenggara ibadah haji tidak dapat menyajikan informasi jumlah setoran awal calon haji batal yang masih disajikan dalam urutan BPIH Pemerintah.
Ketiga, Penyelenggara ibadah haji tidak memiliki sistem yang dapat menghasilkan informasi yang valid dan akurat mengenai calon haji khusus yang melunasi dan berangkat.
Selain itu, BPK juga memberikan catatan terkait LK PIH yang mungkin kondisinya terus terjadi di tahun mendatang jika Kemenag tidak melakukan upaya perbaikan, yaitu: Pertama, LK PIH sampai 1432H belum dapat memberikan informasi tentang keseluruhan biaya yang digunakan hingga ibadah haji dapat terselenggara.
“Kami mengharapkan Menteri Agama dapat melakukan koordinasi untuk menginventarisasi seluruh sumber pembiayaan PIH,” harap Sapto.
Kedua, terkait organisasi penyelenggaraan ibadah haji yang seharusnya dirancang memiliki kejelasan bentuk dan kedudukan serta mampu mendorong setiap komponen di dalamnya dapat bekerja secara optimal. Ketiga, terkait dengan pembelajaran atas pengalaman penyelenggaran ibadah haji yang
seyogyanya menjadi dasar perancangan standar dan sistem penyelenggaran ibadah haji.
“BPK sangat mengharapkan penyelenggaran ibadah haji dijalankan berdasarkan sistem yang terstandar, bukan berdasarkan kebiasaan. Karenanya, kami menyambut baik upaya Kemenag untuk mengembangkan dan menerapkan Sistem Manajemen Mutu untuk penyelenggaran ibadah haji yang sesuai standar mutu internasional, yaitu ISO 9001:2008,” terang Sapto.
Keempat, terkait dengan data dan keamanan data calon jamaah haji, baik data personil maupun data keuangannya. Terkait dengan keuangan, lanjut Sapto, keamanan yang dimaksud adalah tidak hanya terbatas pada keberadaannya, tetapi juga terkait dengan nilainya.
“Siskohat harus terus dipelihara dan dikembangkan sehingga terintegrasi secara utuh, sistematis dengan semua proses yang terkait. Kerja sama dengan Bank Penerima Setoran (BPS) juga harus dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi jamaah,” saran Sapto.
Terkait catatan ini, Menag secara khusus menyampaikan rasa terima kasih atas berbagai saran dan masukan yang sudah diberikan. “Komitmen Kementerian Agama untuk terus membenahi keuangan haji,” tambah Menag.
Menurut Menag, kita sependapat dengan BPK. Kemenag akan terus membenahi, baik pada aspek siskohat, keamanan data calon jamaah, keamanan keuangan, maupun aset dan lainnya. “Semuanya kita benahi dan mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa selesaikan,” tegas Menag.
Untuk menjaga keuangan haji, lanjut Menag, Kementerian Agama sedang mengajukan RUU tentang Keuangan Haji. Sekarang, RUU ini masih dalam tahap pembahasan dengan Kementerian Keuangan. “Keamanan uang menjadi pemikiran
kami. Itulah kenapa uang haji diletakkan pada Sukuk di Kementerian Keuangan,” tegas Menag.
Menag berkomitmen untuk terus memonitor perkembangan keuangan haji agar tidak ada yang tercecer. Menag juga akan lebih selektif dalam menentukan Bank Penerima Setoran (BPS), termasuk dengan melakukan pembatasan jumlah BPS.
“Dalam waktu dekat, kita akan lakukan konsolidasi di antara BPS untuk menetapkan koordinator. Dengan demikian, pergerakan uang setiap hari dapat dimonitor dalam satu sistem yang dikendalikan oleh satu bank yang memang memiliki kredibilitas yang tinggi,” kata Menag.
Terkait sengketa aset RS Asrama Haji Pondok Gede Jaktim antara Kementerian Agama dan Pemda DKIJakarta, Menag menegaskan, itu sudah selesai. “Dalam waktu dekat, aset itu akan diserahkan kepada Kementerian Agama karena memang sesungguhnya milik Kemenag,” tutup Menag. (mkd)(kemenag.go.id)